Seperti sebuah blangkon… aku bukan pembuatnya, hanya memakainya, mengaguminya dan menceritakannya...

Selasa, 23 November 2010

MEMAKAI BESKAP ATAU ATELA

Beskap maupun atela merupakan salah satu busana pria adat Jawa yang bersumber dari keraton Surakarta. Perbedaan antara keduanya yang mudah dilihat dari pemasangan kancing baju. Pada beskap, kancing baju terpasang di kanan dan kiri, sementara pada atela, kancing baju terpasang di tengah dari kerah leher ke bawah. Sebenarnya masih ada jenis busana yang lainnya seperti Takwa, Langenharjan dan Sikepan. Tapi tulisan kali ini tidak membahas tentang jenis busana-busana tersebut, hanya hendak berbagi tentang cara memakai busana tersebut.

Perlengkapan busana beskap / atela :
A. Blangkon / udheng / mit
B. Selop / canela
C. Epek lengkap timang dan lerep (anak timang)
D. Sabuk
E. Stagen
F. Keris / duwung
G. Nyamping / sinjang (tidak terfoto)










 


1.  Memakai Sinjang/Nyamping
Nyamping atau Sinjang sebelum dikenakan haruslah diwiru terlebih dahulu. Untuk nyamping busana pria, lebar wiru berukuran 3 jari tangan. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam mengenakan nyamping adalah motif batik pada kain nyamping tersebut. Jika nyamping memiliki motif gurda, posisi kepala burung haruslah berada di atas. Ada juga motif yang memakai simbol/bentuk seperti candi atau rumah, maka posisi atap haruslah berada di atas. Saat mengenakan nyamping, posisi wiru berada di tengah tubuh memanjang ke bawah. Tangan kanan memegang wiru dan tangan kiri memegang ujung kain satunya (biasa disebut pengasih). Pengasih ini dililitkan ke kanan hingga belakang paha kanan. Kemudian ujung wiru dililitkan ke arah kiri hingga pas di tengah tubuh. Usahakan bagian bawah tingginya sama dan cukup menutupi bagian kemiri kaki (bagian belang kaki yang menonjol). Setelah dirasa cukup sesuai maka nyamping harus diikat oleh stagen.

 


2.  Memakai Stagen
Stagen dililitkan dari arah kiri ke kanan mulai dari bawah melingkar ke arah atas. Jika stagen milik anda terlalu panjang, anda dapat meneruskan melilitkan  stagen kembali ke arah bawah. Jika sudah cukup, ujung stagen ditekuk dan diselipkan pada bagian bawah lilitan stagen untuk mengunci lilitan tersebut. Selanjutnya untuk menutupi stagen, kenakanlah sabuk.

3.  Memakai Sabuk
Cara memakai sabuk mirip dengan cara mengenakan stagen yaitu dililitkan berulang kali pada bagian bawah dada hingga ke pinggang. Hanya saja sabuk dililitkan dari arah kanan ke kiri mulai dari atas ke arah bawah.
Yang perlu diperhatikan pada pemakain sabuk adalah jarak sap (garis atas yang satu dengan berikutnya kurang lebih 2 jari tangan. Ujung dari sabuk harus berakhir pada bagian kiri depan dan dapat dikunci dengan peniti.

4.  Memakai Epek
Bentuk epek mirip dengan ikat pinggang. Epek memliki bagian pengunci yang disebut timang dan bagian lerep (anak timang). Cara mengenakan epek yaitu timang berada pada posisi tengah lurus dengan wiru nyamping. Sementara lerep pada posisi sebelah kiri. Jika memiliki epek yang panjang maka bagian ujung dapat dilipat dan dimasukkan ke bagian lerep. Epek harus terpasang pada lilitan sabuk bagian bawah, kira-kira 2 jari dari garis  bawah sabuk.
Warna sabuk dan epek ada beberapa macam sesuai dengan keperluan. Contohnya :
1. Sabuk berwarna ungu dengan epek berwarna hijau artinya Wredha Ginugah yang dapat membangun suasana tenteram.
2. Sabuk berwarna hijau atau biru dengan epek berwarna merah artinya Satriya Mangsah yang dapat membangun jiwa terampil dan berwibawa.
3. Sabuk berwarna Sindur (merah bercampur putih) digunakan pada saat hajatan penganten. Warna ini dipakai bagi yang memiliki hajatan (hamengku damel). Sementara untuk besan tidak ada aturan yang pasti. Hanya saja pada saat jaman penjajahan Jepang, pernah ada paguyuban yang menentukan warna sabuk Pandhan Binethot (warna hijau dan kuning) bagi besan.

 5.  Memakai Atela
Mengenakan atela ataupun beskap sama seperti mengenakan baju biasa. Lencana penghargaan ataupun acessories seperti bandul, lambang keraton (bagi keluarga keraton ataupun yang telah mendapatkan kekancingan dari keraton boleh mengenakan lambang tersebut untuk dipasang pada atela).
6.  Memakai Keris/Duwung 
Keris atau duwung dikenakan pada bagian belakang busana. Keris diselipkan pada sabuk, tepatnya pada sap ke tiga dari bagian bawah sabuk. Posisi arah dan kemiringan seperti pada foto di sebelah ini.
Cara mengenakan keris/dhuwung ada beberapa macam sesuai dengan keperluannya:
1. Ogleng : seperti pada gambar di samping digunakan pada saat biasa atau pahargyan (upacara adat) penganten.
2. Dederan /andhoran : digunakan pada saat menghadap pimpinannya.
3. Kewal : digunakan oleh prajurit saat situasi bersiaga.
4. Sungkeman : digunakan saat menghantarkan jenazah.
5. Angga : digunakan oleh pemimpin barisan
6. Sikep
7. Brongsong : keris dipegang dengan dibungkus sehingga tidak terlihat oleh orang lain.

Untuk jenis keris ada banyak sekali macamnya, hanya saja yang banyak dikenal oleh awam jenis Ladrang dan Gayaman. Dhuwung ladrang adalah keris resmi yang digunakan dalam upacara ataupun pahargyan (upacara penganten). Sementara jenis gayaman digunakan sehari-hari oleh prajurit keraton.

6.  Memakai Selop

Selop dikenakan sebagai alas kaki. Yang perlu diperhatikan pada pemakaian selop adalah ukuran dari selop itu. Jangan mengenakan selop yang lebih besar dari ukuran kaki tapi pilihlah selop yang lebih kecil. Ini bertujuan untuk menghindari agar langkah kita tidak terbelit pada kain nyamping.




 


7.  Memakai Blangkon/Udeng/Mid

Pada bagian depan blangkon terdapat segitiga. Ujung segitiga tersebut harus berada ditengah-tengah kening. Blangkon jangan dikenakan terlalu mendongak ataupun  menunduk.






Ada satu hal yang perlu diingat saat mengenakan busana adat, yaitu bahwa sepintas orang dapat mengenali kepribadian seseorang dari busananya baik warnanya maupun jenis busananya, cara memakainya dan bertingkah laku saat mengenakannya. 

(Nyandhang menaganggo iku dadiya sarana hambangun manungso njobo njero, marmane pantesan panganggonira, trapna traping panganggon, cundhukana marang kahananing badanira, wujud lan wernane jumbuha kalawan dedeg pisdeg miwah pakulitan. - kanjeng Susuhunan Pakubuwono IV- )

Rabu, 17 November 2010

POLA BATIK TRADISONAL

Saat ini batik sudah mendunia. Beragam festival dalam rangka memperkenalkan batikpun sudah terselenggara baik di kota asal mula batik, kota-kota besar maupun manca negara. Tapi belum banyak orang yang mengenal pola maupun tentang filosofi bentuk yang terukir dalam kain tersebut. Hanya mereka yang tergabung dalam komunitas batik saja yang memperdalam pengetahuan maupun sejarahnya.
Oleh karena itu, dalam artikel kali ini, saya akan memperkenalkan tentang motif atau pola batik tradisonal. Apa yang saya tulis ini bersumber dari salah satu seminar yang pernah diadakan oleh komunitas batik di kota Yogyakarta pada 17 Mei 2008 yang disampaikan oleh Nyi Kushardjanti S.E, M.Si.

1.    Motif HUK
Motif Huk menggambarkan bentuk seekor anak burung yang baru saja menetas dan menggeleparkan sayap lemahnya dalam usaha membebaskan diri dari cangkangnya. Motif ini menggambarkan keikhlasan terhadap kehendak Sang Maha Kuasa. Ide motif ini berdasarkan pandangan hidup tentang kemana roh manusia akan pergi setelah meninggalkan tubuhnya.
Motif ini biasa digabung bersama motif ceplokan dengan latar gringsing, menjadi selingan pada motif parang atau berbaur dengan pola nitik.


2.      Motif GURDA 

Motif Gurda atau burung garuda yang dilihat dari sisi belakang. Motif ini diilhami dari mitos budaya Hindu yang menggambarkan kendaraan dewa Wisnu sebagai simbol kebijaksanaan. Sayap melambangkan kekuatan berkembang dan pengayoman. Ekor melambangkan harapan semoga kehidupan yang dibina baik akan berbuntut kebaikan. Dubur melambangkan jalan keluarnya telur yang bermakna sebab dan akibat merupakan kesatuan.


3.      Motif SLOBOK
Motif Sobok adalah bentuk geometris sederhana tapi sarat dengan makna. Slobok berarti saling bertaut dengan ukuran tidak kekecilan atapun tidak kelonggaran, bertaut dengan pas. Makna dari motif Slobok adalah sebagai kawula alit agar dapat menemukan hidup yang baik sehingga nantinya bersatu dengan Sang Maha Kuasa harus berusaha menjalani hidupnya dengan tidak kekurangan dan tidak berlebihan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Dalam pewayangan, cara hidup ini digambarkan dalam kehidupan keluarga Punakawan, yaitu Semar dan anak-anaknya...

 4.      Motif PARANG
Motif Parang memiliki bentuk estetis yang disebut parang sebagai pola geometris dengan rapor belah ketupat yang disusun secara garis lurus miring  dengan sudut 45 derajat. Pola ini memiliki makna bahwasanya sebagai manusia pasti pernah mendapatkan cobaan dalam kehidupannya. Bahkan untuk merunut jalan Ilahi sekalipun akan mendapatkan tantangan jalan mendaki, berbatu-batu, tetapi tegas ke atas sehingga diperlukan iman dan ketabahan untuk mencapai tujuannya.

Bentuk parang sesungguhnya merupakan deformasi dari beberapa bentuk. 
Yang pertama bentuk ombak laut yang susul-menyusul mengandung makna bahwa dalam  dunia ini tidak ada yang mulus. Banyak cobaan hidup yang akan dialami. Bila dihadapi dengan sabar dan bijak akan melahirkan ketegaran.
Yang kedua adalah pusaran ombak yang distilasi menjadi bentuk intan yang dalam istilah batik disebut mlinjon. Bentuk ini bermakna bahwa perjuangan seorang pemimpin ibarat berjuang di dalam pusaran air, bila berhasil ibarat menemukan permata.
Adapun jenis pola parang antara lain sebagai berikut :
Motif Parang Rusak Barong
Motif ini diciptakan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma yang ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya sebagai seorang raja dengan segala kewajibannya sekaligus sebagai manusia kecil di hadapan Tuhannya. 
Kata parang dalam bahasa Jawa dapat berarti musuh dalam peperangan (parang muka). Perang yang dimaksut bisa berarti peperangan batin yang senantiasa dialami oleh kaum dewasa. Sebagai seniman, Sultan Agung Hanyakrakusuma ingin menyampaikan pesan bahwa dalam perang sekecil apapun, sifatnya pasti merusak, maka setiap pemimpin yang memakai kain dengan pola Parang ibarat diingatkan harus berhati-hati bila menerapkan kebijakan perang.
Motif Parang Rusak Barong merupakan pola larangan, pada waktu itu hanya boleh dikenakan oleh raja, istri raja, putra-putri raja serta patih.

Barong merupakan deformasi dari bentuk burung rajawali yang merupakan simbol dari seorang "Wong Agung". Arti daripada simbol-simbol tersebut adalah:
- Kepala burung mengandung makna kecerdasan. 
- Paruh merupakan manifestasi dari isi mulut dilukiskan sebagai lidah api. Bentuk ini disebut uceng. Hal ini mengandung makna bahwa lidah seorang pemimpin ibarat api yang ucapannya dapat membakar orang banyak.
- Tuding mengandung makna bahwa tudingan seorang pemimpin akan menentukan nasib seseorang atau masyarakat.
- Badan bermakna kekuatan fisik yang diperlukan oleh seorang pemimpin.
Sayap mengandung makna kemampuan beraktifitas dan mobilitas sangat diperlukan oleh seorang pemimpin.
Masing-masing bentuk tersebut dibingkai oleh garis sawut yang diwarnai coklat soga yang bermakna spirit.

(Istilah dalam perbatikan : 2 mustika disebut mata gareng,  badan dan sayap disebut barong, ombak disebut parang dan intan disebut mlinjon)
Bentuk Parang Rusak Barong berkembang dengan berbagai variasi bentuk yang lain. Contohnya sebagai berikut :

A. Parang barong tumaruntum
B. Parang gendreh, bentuk barongnya maksimal berukuran 8 cm
C. Parang klitik, bentuk barongnya 4 cm
D. Parang klitik melik, bentuk barongnya 2 sampai 3 cm.













Perubahan bentuk dari burung menjadi barong.

 
(Bersambung....)

Sabtu, 13 November 2010

Si Sugeng...

Pernahkah anda mendengar orang atau teman anda yang berasal dari Jawa Tengah mengucapkan kata :
“Sugeng enjing.”
“Sugeng siang.”
“Sugeng ndalu.”
 "Sugeng rawuh.”
“Sugeng, bapa…”
Atau sugeng-sugeng lainnya..

Atau mungkin anda sendiri juga sering mengucapkan kata-kata itu? Baik dalam verbal ataupun dalam ketikan status Facebook anda…
Dulu saya menganggap sugeng enjing artinya selamat pagi, dan saya merasa tidak ada masalah dengan ucapan salam tersebut. Sampai suatu ketika saya diajak MNg. Mulyo Prasetyo untuk ikut pawiyatan memetri budaya Jawa, barulah saya tahu bahwa selama ini yang menurut saya benar ternyata salah kaprah. Salah karena memang tidak benar ucapannya dan kaprah karena sering diucapkan sehingga saya tidak merasa salah dengan ucapan tersebut. Seusungguhnya kata sugeng jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah hidup. Urip bahasa Jawanya. Jadi jika digabungkan menjadi sugeng enjing akan diterjemahkan sebagai hidup pagi, kata yang menurut saya ganjil.

Nah, jika anda ingin memberikan ucapan salam yang benar dengan bahasa Jawa gantilah kata sugeng dengan kata wilujeng.
“Wilujeng enjing.”
“Wilujeng siang.”
“Wilujeng ndalu.”
"Wilujeng rawuh."
“Wilujeng, bapa…”

Kata wilujeng jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah selamat.  
Mungkin bagi beberapa orang yang sudah terbiasa menggunakan kata sugeng akan merasa aneh mengucapkan kata wilujeng.  Tapi lebih baik jika mulai mencoba dengan rasa yang aneh tapi tepat. Saya yakin, rasa yang aneh itu lama-lama akan hilang. Selamat Mencoba…!